Mengenai Saya

Foto saya
padang, sumatra barat, Indonesia
jangan buat aku terlau mencintaimu

Senin, 06 Juni 2011

aRTIKEL_Menebus Mimpi Dengan Mimpi- mimpi Baru….

Menebus Mimpi Dengan Mimpi- mimpi Baru….
Pendidikan adalah alat yang terbukti untuk mengejar ketinggalan bangsa ini dengan bangsa- bangsa yang lain. Tidak sedikit para pelajar dan mahasiswa yang mampu berprestasi dibidang internasional. Dalam lomba- lomba bergengsi , para putra dan putrid Indonesia tidak kalah bahkan mampu mengunguli rival- rivalnya dari Negara- Negara maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyaknya Negara- Negara lain yang berlomba- lomba memberikan beasiswa, akomodasi selama belajar, hinga adanya ikatan kerjaatau ikatan dinas. Hal yang sangat disesalkan disini yankni banyaknya siswa yang berprestasi tapi tidak dapat melanjutkan pendidikan karena masalah biaya dan terbatasnya kursi dipeguruan tinggi negeri. Tak semua keluarga Indonesia mampu menyekolahkan putra dan putrinya disekolah atau kampus favorit karena terbentur masalah biaya.
Pada visi Kemendiknas 2010-2012 “Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif” serta misi Kemendiknas yaitu ketersediaan, keterjagkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian (K5). Kita sadar bahwa kita hidup di era global yang akses informasi bisa dilakukan dengan cara yang cepat bahkan bisa “real time”. Keadaan ini sangat mempengaruhi proses pendidikan Indonesia.
Pendidikan berfungsi sebagai mesin mobilitas bertikal social – ekonomi dan budaya. Pendidikan tinggi sebagai jenjang pendidikan tertinggi yang merupakan motor penggerak untuk penguatan maupun percepatan perbaikan pendidikan. Peran penidikan khususnya pada pendidikan tinggi yang berbasis budaya akademik sangat penting karena merupakan landasan bagi engembangan sumberdaya manusia bermutu dan inovasi nasional.
Pendidikan tinggi tidak hanya mencetak sumber daya manusia sebagai “supporter” tapi juga “driver” bahkan “enable” bagi pertumbuhan. Untuk menghasilkan mutu pendidikan yangberkualitas dan memposisikan pendidikan tinggi sebagai motor inovasi dan pertumbuhan, maka pemeritah berusaha memastikan adanya pemerataan akses pendidikan yang berkualitas.
Banyak orang mengatakan bahwa pendidikan itu mahal, dan banyak yang mengatakan bahwa untuk pintar itu mahal harganya. Malang untuk anak yang lahir dikeluarga yang berkekurangan dimana mereka ingin pintar tapi terbentur oleh biaya yang tak sedikit. Alih- alih berpikir ingin kuliah, tamat wajib belajar Sembilan tahun saja dirasa sangat bahagia. Dinegri ini selain dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah. Yang boleh mencicipi pendidikan bermutu seperti RSBI dan BHP yang biayanya melambung terus setiap tahunnya, dan hanya anak- anak kaya.
Bagaimana anak- anak negeri ini bisa bangkit jika mereka dilarang untuk tak seperti orang tuanya yang bodoh? Daerah Sumatra barat saja sebagai contohnya, masih banyak keluarga miskin ketimbang data- data yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Setiap tahunnya angka partisipasi pendidikan selalu dinaikkan, tapi mengapa kualitasnya masih saja tetap sama setiap tahunnya? Setiap tahun jumlah pengangguran “kerah putih” dan “kerah biru” semakin bertambah setiap tahunnya. Jumlah mereka tak sebanding dengan pertumbuhan dunia usaha. Produk pendidikan Indonesia masih sebagai pencari kerja bukan sebagai pembuat lapangan kerja baru. Mereka hanya mengandalkan CPNS yang digelar setiap tahunnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Akar persoalan bangsa ini adalah system pendidikanya, dimana orang- orang miskin dinegri yang kaya raya, jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan murah. Pemerintah terus bereksperimen dengan membuka RSBI dan BHP. Setiap satuan pendidikan bertanggung jawab membiayai hidup sendiri alias mandiri. Diperbolehka mencari dana dari sumbangan masyarakat, swasta dan membukan usaha.
Dunia pendidikan Indonesia memang perlu diselamatkan, jika tidak mau jadi apa anak Indonesia beberapa tahun mendatang. Dari biaya masuk sekolah saja dapat kita lihat walaupun biaya sekolah wajib 9 tahun memang tak dipungut biaya sekolah, tapi pihak sekolah masih saja memungut biaya dari siswanya dengan mengatakan uang buku, atau uang seragam. Dan dari pihak PTN juga melakukan hal yang sama dengan menaikan biaya masuk semakin tinggu setiap tahunnya. Sehingga ada yang lulus UMB atau SNMPTN harus mengundurkan diri dikarenakan tidak cukup biaya.
PTN tugasnya adalah mencerak generasi yang intelektual jangan membebani mereka dengan biaya- biaya yang tak sanggup mereka bayarkan. Anak negeri ini terlalu banyak mimpi hingga mereka biasa menebus mimpi- mimpi mereka dengan mimpi- mimpi baru.
Pihak penyelengara pendidikan harus melalukan perbaikan pada standarisai pendidikan mereka, jangan hanya meminta biaya mahal, tapi tak sesuai dengan apa yang mereka rasakan. Memperbaiki gedung menambah fasilitas, tapi kualitas yang mereka daptkan sama saja dengan tidak bersekolah. Dalam pendidikan perguruan tinggi saja, membayar uang kuliah yang begitu mahal tapi kadang- kadag dosennya tidak datang atau dosen datang hanya sebentar dan pergi lagi. Mau jadi apa mereka yag mebayar jutaan rupiah setiap semester tapi tak mendapatkan pengetahuan yang sepadan.
Perguruan tinggi mencetak setiap tahunnya pengangguran berpendidikan, mungkin mereka setelah tamat kuliah hanya menjadi penjaga warung atau toko. Sedangkan mereka lulusan fakultas hukum atau fakultas ekonomi. Jika selalu peperti ini, maka semakin bobroklah pemuda dan pemudi kita dalam bidang pendidikan, dan tidak salah jika semakin banyak yang menjadi penjahat.
Maka perlu adanya partisipasi masyarakat dalam lembaga pedidikan tinggi pasti sangat membantu. Namun, ekspasni tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas dan relevansi dengan bersinergi dengan masyarakat industry agar tidak menghasilkan pengangguran terdidik.

Artikel_TergesernYA rUMAH gADANG_

Tergesernya Rumah Gadang………………

Orang Minangkabau, menganut falsafah hidup “alam takambang jadi guru”. Mereka menjadikan alam sebagai guru untuk membangun kebudayaan mereka. Pencerminan dari paham ini dapat dilihat dari arsitektur rumahnya, Rumah Gadang. Gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar, dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau. Harmonis dan dinamis sebenarnya merupakan konsepsi yang berlawanan. Harmonis berkaitan dengan keselarasan, dan dinamis berkait dengan pertentangan. Hanya saja, ketika harmonis dan dinamis dipahami dalam konteks “bakarano bakajadian”, maka kedua hal tersebut menghasilkan sebuah kebudayaan yang menakjubkan. Bentuk badan Rumah Gadang yang segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik), atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sisinya melengkung ke dalam, bagian tengahnya rendah seperti perahu, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh atap berbentuk segi tiga yang melengkung ke dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetis, harmonis.
Rumah Gadang disamping sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan representasi budaya matrilenial. Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata aturan yang unik. Perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar. Perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke tengah jika ada perempuan lain, adiknya, yang bersuami. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing.
Sekarang, pola kehidipan masyarakat Minang sudah bergeser, tanggung jawab keluarga yang semula berada di tangan penghulu dan mamak rumah, kini bergeser kepada tanggang jawab penuh seorang ayah. Maka upaya membangun Rumah Gadang pun kian luntur. Malah banyak Rumah Gadang yang sengaja ditinggalkan oleh anak kemanakan, tersebab dia sudah mampu membuat rumah sendiri untuk berdiam. Sehingga rumah gadang menjadi lapuk ditinggal penghuninya. Yang ada mungkin hanya binatang- binatang seperti kelelawar atau laba- laba.
Apakah Rumah Gadang akan menjadi sebuah Museum Sejarah? Perubahan- perubahan yang terjadi akibat modernisasi berdampak besar pada sistem kekerabatan dalam budaya minangkabau. Ada beberapa fenomena yang terjadi sekarang, fenomena itu adalah rumah gadang sebagai simbol sistem budaya minang nampaknya akan kehilangan fungsinya sebagai rumah gadang. Memang banyak kaum yang merenovasi rumah gadangnya, dibangun yang rancak dan anggun, tapi itu dilakukan bukan untuk ditempati, melainkan hanya sebagai ornamen, sebagai simbol keluarga. Mungkin sekali dalam setahun, saat lebaran mereka berkumpul di rumah gadang tersebut. Dengan kata lain rumah gadang dikuatirkan menjadi museum suatu keluarga. Fenomena yang selanjutnya adalah memudarnya peranan ninik mamak sebagai kepala kaum. Terutama di daerah agraris seperti solok-selatan, selain kampung terasa agak lengang, jumlah perempuan jauh lebih banyak dari laki laki.
Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak atau pemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyak dirantau. Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluarga besar. Makna dan fungsi keluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern.
Lalu muncul sebuah budaya baru yang disebut dalam budaya modern yaitu keluarga inti. Keluarga kini terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnya masyarakat modern. Beberapa fenomena yang saya jabarkan diatas kira- kira akan berdampak pada terancamnya fungsi dan peran rumah gadang sebagai simbol sistem kekerabatan minangkabau yang dibanggakan itu. Dunia sedang berubah dan suku Minang harus siap menghadapi perubahan.
Saat ini hanya sedikit rumah Gadang yang ada dinagari minangkabau ini. Mungkin yang tersisa hanya bekas rumah Rumah Gadang saja. Selain itu juga banyak dari rumah tua itu yang nayris runtuh akibat diterpa angin. Yang sangat disayangkan adalah dari pihak warga yang tinggal dalam satu kaum atau warga setempat seolah- olah rumah gadang ini hanya symbol saja atau hanya sebuah museum sejarah kalau disana pernah tinggal orang minang. Kita dapat lihat dari pihak pemda kota, seolah-oleh pemda kota juga melakukan pembiaran atas keadaan ini. Bisa dilihat sendiri dikota Padang yang kita cintai ini, sangat sedikit Rumah Gadang yang kita temui, paling- paling hanya gedung- gedung pemerintahan yang atapnya saja memakai gonjong. Tapi tak pernah kita lihat adanya Rumah Gadang itu sendiri. Mana kasanah budaya yang akan kita wariskan pada anak cucu kita? Atau hanya sebuah cerita- cerita saja?
Maka perlunya kerjasama antara pemda kota dan warga masyarakat, agar tak semakin terpinggirkannya rumah gadang yang menjadi kebanggaan orang ranah minang. Jika dikaitkan dengan keinginan orang minang yang sekarang mulai melakuka perubahan pola piker dimana mereka ingin memiliki rumah sendiri, boleh saja tapi mereka juga harus mampu merawat rumah gadangnya agar tak lapuk oleh cuaca. Karena kota Padang terkenal sekali sebagai kota yang memiliki bayak sekali objek wisata, jangan jadikan tanda pengenal itu hilang karena perubahan jaman. Maka perlu kerjasama antara Pemda dan Warga Kota itu sendiri, maka mulailah dari sekarang untuk bertindak sebagaimana orang Minangkabau.

Artikel_Terperangkap Budaya Konsumtif…_

Terperangkap Budaya Konsumtif…
Orang Indonesia pada umumnya paling senang mendengar kata ”Diskon Besar-besaran”. Sangking exsaitednya mereka mau saja mengantri dari pagi hingga siang, mungkinkah Indonesia menganut budaya konsumtif jika dilihat dari segi penggunaan dan pemakaian barang- barang tertentu yang mungkin pada dasarnya hanya untuk pemuas nafsu mereka akan barang- barang luxulury saja? Apakah watak orang Indonesia memang konsumtif seperti yang kita lihat?
Sebenarnya budaya konsumtif ini merupakan perwujudan praktik sosial yang berbahaya karena bisa ngelahirin berbagai dampak yang berbahaya banget bagi kehidupan masyarakat. Sifat konsumtif ini sebenarnya bagian yang gak bisa dipisahkan dari ideologi kapitalisme yang banyak mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat di Dunia. Budaya ini diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi oleh para kaum kapitalis. Keinginan masyarakat dijadikan sebuah komoditi pasar yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu. Pasti saja keberadaan dari budaya konsumtif tersebut dapat mengancam tatanan nilai dan identitas yang telah dianut oleh masyarakat selama ini, terutama budaya hidup sederhana dan bersahaja yang dipakai Indonesia selama ini.
Konsumtif merupakan perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dimana yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut.
Orang yang konsumtif menganggap bahwa membeli dan memakai barang mahal akan membuat mereka lebih Stylish. Padahal jika mereka bisa memadupadankan barang- barang lamanya mungkin akan lebih baik dari pada harus membeli barang- barang yang cenderung menguras isi kantongnya. Budaya konsumtif ini timbul dari sebuah kegalauan pada masyarakat karena krisis kepercayaan yang mereka rasakan, contohnya saja pada barang milik dalam negri dimana salah satu merk susu terkena virus yang dapat menyebabkan kematian, atau produk buatan dalam negri yang gak dipercaya lagi oleh bangsanya. Saya jadi ingat pada mobil buatan Indonesia asli buatan tangan Negara sendiri tapi seakan tak ada respon baik dari masyarakatnya sehingga mobil tersebut hilang dari peredaran dan ditemukan membusuk dilahan kosong yang ditumbuhi dengan ilalang yang tinggi menjulang. Atau pesawat rakitan dalam negri yang gak dipakai lagi malah membeli barang merk luar negri yang malah membuat krisis kepercayaan lebih memburuk lagi dimasyarakat.
Salah satu ciri dari perilaku konsumtif adalah kecenderungan masyarakat Indonesia mengkonsumsi sesuatu bukan karena mereka memang betul-betul membutuhkannya, tetapi lebih banyak karena mereka merasa membutuhkannya. Barang yang dikonsumsi itu bukan lagi dimiliki dari fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan hanya pada makna simbolis yang melekat pada benda itu. Disini fungsi benda itu telah berubah menjadi sesuatu yang mempunyai makna simbolis yang mungkin berkaitan dengan status social, perasaan lebih berharga, atau sekedar terperangkap pada budaya primer . karena itu, sering terlihat dimasyarakat Indonesia yang mana menganggap bahwa semakin langka dan terbatas produksi suatu benda, semakin tinggi pula makna simolis yang melekat padanya.
Konsumtif ini mengajarkan kita tidak produktif, pada orang yang memiliki sifat konsumtif yang tinggi biasannya mereka merasa barang yang ada di hadapan dia harus dimiliki. Orang konsumtif melihat barang bukan dari kegunaan sekarang hingga nanti tetapi saat itu saja. Saat melihat barang ia akan merasakan pada saat memakai barang tersebut. Entah barang itu nanti akan dipakai lagi atau tidak yang penting saat itu juga ia harus memilikinya
Sifat konsumtif ini tidak masalah asal tidak merugikan orang lain orang duit-duit dia. Yang jadi masalah kalo yang bersangkutan sampe babak belur nombokinnya. Yang bikin sebel lagi kalo golongan ini mulai jadi provokator buat yang tipe saver. Kita bisa tahu kalau pola konsumtif ini lebih banyak bersifat negatif karena sangat mengkhawatirkan kehidupan mereka tidak akan pernah nyaman karena akan selalu dihantui rasa ketidak puasan yang termenerus muncul. Pola konsumtif dari segi positifnya mungkin hanya orang tersebut tidak tertinggal jaman tapi itu bukan jaminan bagi orang konsumtif. Jadi lebih baik kita tidak memiliki sifat seperti itu, yah hidup normal- normal aja apa yang mesti beli itu dilihat dari segi penting atau tidaknya untuk kedepannya kerena orang konsumtif tidak akan pernah mengulangi barang yang pernah dipakai dipakai kembali dan orang konsumtif akan selalu merasa barang yang ia memilki itu kurang. Kalau pun memiliki uang yang banyak gunakan untuk sesuatu yang sangat penting dulu.
Nah, buat teman- teman yang menganut budaya konsumtif sebainya mulailah berubah. Karena gak selamanya kita punya uang untuk beli ini dan itu, mungkin satu hari nanti kita terbentur biaya. Dan sebaiknya mulai sekarang mulailah untuk mampu membuat sesuatu atau berkreasi sebaik mungkin. Maka diperlukannya manusia yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, disiplin, berwawasan luas, kreatif, punya inisiatif dan prinsipil, untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan itu. Bangsa Indonesia harus beranjak dari posisi sebagai konsumen menjadi produsen.

Artikel_ KETIKA HUKUM DIPERJUAL BELIKAN MUNCULLAH MAFIA HUKUM DAN MAFIA PERADILAN_

KETIKA HUKUM DIPERJUAL BELIKAN MUNCULLAH MAFIA HUKUM DAN MAFIA PERADILAN

Hukum yaitu sesuatu yang telah diatur kadarnya. Semuanya sudah dikodifikasi atau sudah dibukukan. Ini dapat kita lihat dalam kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata) dan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab tersebut pada intinya berisi peringatan tentang hal yang kita lakukan serta ancaman hukumannya.
Ini adalah gambaran hukum di Indonesia, yang telah diatur dalam kitab undang-undang perdata juga pidana. Indonesia sebagai negara hukum atau rechtstaat memang telah diatur oleh undang-undang dan hukum yang jelas. Undang-undang yang memayunginya itulah yang akan dijadikan pegangan bagi para jaksa dan hakim dalam mengambil keputusan dalam pengadilan.
Tapi, sekarang ini kita banyak melihat hukum tidak dapat berlaku seperti yang ada dalam kitabnya. Hukum telah banyak yang melenceng dari yang ada dalam kitab atau buku. Banyak sekali yang tidak sesuai dengan buku, terutama kadar hukuman yang ada dalam KUH Perdata dan KUHP. Jual beli ada hukumnya, tetapi hukum tidak boleh dijual dan tidak bisa dibeli. Hukum wajib ditegakkan, sekalipun terhadap diri sendiri, keluarga maupun sanak famili. Di sekitar kita, jual beli hukum bukan lagi barang aneh. Selain beritanya sering muncul di televisi, media cetak, dan radio, mungkin kita sendiri pernah mengalaminya atau terpaksa mengalaminya. Padahal, manakala hukum hukum bisa dengan mudah diperjual belikan, maka praktis moral masyarakat hancurlah sudah.
Maka tidak salah lagi juaka ada yang namanya mafia hukum dan mafia peradilan. Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan