Mengenai Saya

Foto saya
padang, sumatra barat, Indonesia
jangan buat aku terlau mencintaimu

Senin, 06 Juni 2011

Artikel_TergesernYA rUMAH gADANG_

Tergesernya Rumah Gadang………………

Orang Minangkabau, menganut falsafah hidup “alam takambang jadi guru”. Mereka menjadikan alam sebagai guru untuk membangun kebudayaan mereka. Pencerminan dari paham ini dapat dilihat dari arsitektur rumahnya, Rumah Gadang. Gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar, dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau. Harmonis dan dinamis sebenarnya merupakan konsepsi yang berlawanan. Harmonis berkaitan dengan keselarasan, dan dinamis berkait dengan pertentangan. Hanya saja, ketika harmonis dan dinamis dipahami dalam konteks “bakarano bakajadian”, maka kedua hal tersebut menghasilkan sebuah kebudayaan yang menakjubkan. Bentuk badan Rumah Gadang yang segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik), atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sisinya melengkung ke dalam, bagian tengahnya rendah seperti perahu, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh atap berbentuk segi tiga yang melengkung ke dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetis, harmonis.
Rumah Gadang disamping sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan representasi budaya matrilenial. Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata aturan yang unik. Perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar. Perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke tengah jika ada perempuan lain, adiknya, yang bersuami. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing.
Sekarang, pola kehidipan masyarakat Minang sudah bergeser, tanggung jawab keluarga yang semula berada di tangan penghulu dan mamak rumah, kini bergeser kepada tanggang jawab penuh seorang ayah. Maka upaya membangun Rumah Gadang pun kian luntur. Malah banyak Rumah Gadang yang sengaja ditinggalkan oleh anak kemanakan, tersebab dia sudah mampu membuat rumah sendiri untuk berdiam. Sehingga rumah gadang menjadi lapuk ditinggal penghuninya. Yang ada mungkin hanya binatang- binatang seperti kelelawar atau laba- laba.
Apakah Rumah Gadang akan menjadi sebuah Museum Sejarah? Perubahan- perubahan yang terjadi akibat modernisasi berdampak besar pada sistem kekerabatan dalam budaya minangkabau. Ada beberapa fenomena yang terjadi sekarang, fenomena itu adalah rumah gadang sebagai simbol sistem budaya minang nampaknya akan kehilangan fungsinya sebagai rumah gadang. Memang banyak kaum yang merenovasi rumah gadangnya, dibangun yang rancak dan anggun, tapi itu dilakukan bukan untuk ditempati, melainkan hanya sebagai ornamen, sebagai simbol keluarga. Mungkin sekali dalam setahun, saat lebaran mereka berkumpul di rumah gadang tersebut. Dengan kata lain rumah gadang dikuatirkan menjadi museum suatu keluarga. Fenomena yang selanjutnya adalah memudarnya peranan ninik mamak sebagai kepala kaum. Terutama di daerah agraris seperti solok-selatan, selain kampung terasa agak lengang, jumlah perempuan jauh lebih banyak dari laki laki.
Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak atau pemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyak dirantau. Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluarga besar. Makna dan fungsi keluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern.
Lalu muncul sebuah budaya baru yang disebut dalam budaya modern yaitu keluarga inti. Keluarga kini terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnya masyarakat modern. Beberapa fenomena yang saya jabarkan diatas kira- kira akan berdampak pada terancamnya fungsi dan peran rumah gadang sebagai simbol sistem kekerabatan minangkabau yang dibanggakan itu. Dunia sedang berubah dan suku Minang harus siap menghadapi perubahan.
Saat ini hanya sedikit rumah Gadang yang ada dinagari minangkabau ini. Mungkin yang tersisa hanya bekas rumah Rumah Gadang saja. Selain itu juga banyak dari rumah tua itu yang nayris runtuh akibat diterpa angin. Yang sangat disayangkan adalah dari pihak warga yang tinggal dalam satu kaum atau warga setempat seolah- olah rumah gadang ini hanya symbol saja atau hanya sebuah museum sejarah kalau disana pernah tinggal orang minang. Kita dapat lihat dari pihak pemda kota, seolah-oleh pemda kota juga melakukan pembiaran atas keadaan ini. Bisa dilihat sendiri dikota Padang yang kita cintai ini, sangat sedikit Rumah Gadang yang kita temui, paling- paling hanya gedung- gedung pemerintahan yang atapnya saja memakai gonjong. Tapi tak pernah kita lihat adanya Rumah Gadang itu sendiri. Mana kasanah budaya yang akan kita wariskan pada anak cucu kita? Atau hanya sebuah cerita- cerita saja?
Maka perlunya kerjasama antara pemda kota dan warga masyarakat, agar tak semakin terpinggirkannya rumah gadang yang menjadi kebanggaan orang ranah minang. Jika dikaitkan dengan keinginan orang minang yang sekarang mulai melakuka perubahan pola piker dimana mereka ingin memiliki rumah sendiri, boleh saja tapi mereka juga harus mampu merawat rumah gadangnya agar tak lapuk oleh cuaca. Karena kota Padang terkenal sekali sebagai kota yang memiliki bayak sekali objek wisata, jangan jadikan tanda pengenal itu hilang karena perubahan jaman. Maka perlu kerjasama antara Pemda dan Warga Kota itu sendiri, maka mulailah dari sekarang untuk bertindak sebagaimana orang Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar